Kota Karawang tak begitu indah seperti yang dibayangkan. Sepertinya, memang setiap kota di Indonesia mempunyai kekurangannya masing-masing. Baru-baru ini, pihak media berita memberitahukan, suhu di Kota Karawang lebih panas dibandingkan dari Kota Bekasi.
Memang benar, dari segi Gaji Standar karyawan, Karawang lebih besar daripada Bekasi. Namun hal itu tidak menjamin tingkat kemiskinan yang tersebar di setiap sudut kota Karawang. Banyak pengemis dan pemulung sampah beristirahat dengan Lelah di pinggir jalanan Kota Karawang. Banyak anak-anak kecil yang dipaksa mencari rejekinya demi bertahan hidup di lampu merah jalanan.
Salsa, seorang mahasiswi dari salah satu Universitas Negeri di Karawang berencana pulang ke tempat semestinya ia merindu hari ini. Setelah hiruk-pikuk di bangku perkuliahannya terlewati dengan lancar, ia memutuskan untuk rehat sejenak di waktu libur semesternya. Banyak sekali yang menjadi beban pikirannya semasa perkuliahan semester 4 yang baru saja ia lalui. Mulai dari tugas yang selalu menumpuk, jam tidur yang kurang untuk merehatkan kepala dan badan, pertemanan yang tak selamanya setia, dosen yang suka seenaknya mengubah jam perkuliahan, dan tentunya seminar akhir praktikum yang menjadi ketakutan setiap anak Teknik di akhir semesternya.
“Kiri, Pak!” seru Salsa mengisyaratkan supir angkot untuk memberhentikan angkotnya.
Setelah membayar, Salsa menurunkan barang-barangnya dibantu oleh sahabatnya yang asli orang Karawang itu. Memang rasa peduli yang amat sangat tinggi. Rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mengantarkan sahabatnya itu ke Stasiun Karawang untuk pulang ke kampung halamannya.
“Udah semua, kan?” tanya Rina, Sahabatnya Salsa.
“Udah, Rin. Makasih banyak ya udah ngerepotin kamu sejauh ini,” balas Salsa merasa sangat terbantu.
“Ah elah, santai. Kayak ke siapa aja, sih, haha,” tawa Rina diikuti Salsa.
“Yaudah, aku berangkat, ya. Sebentar lagi keretanya datang,” ucap Salsa.
“Okee, siap! Hati-hati di jalan, Sal!”
“Itu pasti!” seru Salsa lalu membalikkan badannya ke arah pintu masuk Stasiun Karawang.
Setelah selesai urusan administrasi persyaratan masuk, seperti pengecekan tiket kereta, kartu identitas, dan barang bawaan, kini Salsa menapakkan kakinya di peron satu Stasiun Karawaang; menunggu kedatangan kereta yang akan mengantarkannya menuju kampung halaman.
Lokomotif kereta mulai terlihat dari kejauhan disertai suara deru mesin dan decitan roda kereta api itu. Semakin mendekat, kenangan satu tahun yang lalu itu semakin menguat.
Di liburan kenaikan tingkat semester 2 yang lalu, ia bertemu dengan seorang pria yang benar-benar sukses menjadi segala-galanya untuk Salsa. Ia bertemu dengannya di dalam kereta api yang mengantarkannya ke kampung halaman kala itu. Namun, karena suatu masalah kecil yang tak terduga akan menjadi besar, Salsa harus rela untuk kehilangan pria tersebut.
Salsa menarik napas Panjang kala kereta di depannya tepat berhenti dengan sempurna. “Gar, kamu dimana?”
Gadis itu masih selalu mencari Edgar—mantan kekasihnya—dalam bayang-bayangnya. Semenjak kejadian itu, Edgar dan band-nya tidak pernah terdengar lagi manggung di café daerah Karawang. Bahkan saking niat untuk mencarinya, Salsa pernah satu minggu penuh; setiap malam mengunjungi café tempat biasa Edgar bernyanyi. Namun hasilnya sama sekali tidak seperti yang Salsa bayangkan. Pria itu benar-benar menghilang seperti di telan bumi.
Dengan Langkah gontai yang bercampur dengan semangat, Salsa mencari tempat duduknya seraya menenteng tas yang berisikan baju-bajunya, tak lupa juga bingkisan kemasan makanan kue kering untuk Hari Raya di kampungnya. Di ujung pandangannya, ia tak sengaja melihat sesosok pria yang tak asing baginya. Pria yang menggunakan jaket baseball itu bertubuh tinggi, sedikit besar dan tentunya cocok dengan perawakan Edgar.
Namun apa daya, tak mungkin ia bertemu Kembali dengan mantan kekasihnya itu di tempat yang sama seperti dahulu. “Mungkin saja aku sedang halu,” pikir Salsa.
Pikirannya sedikit kacau; masih terbayang-bayang sosok Edgar. Gadis itu kini memilih untuk menenggelamkan dirinya dalam bacaan drama novel yang sempat tak ia lanjutkan karena ada Seminar Praktikum beberapa pekan yang lalu.
Kereta Kembali bergerak; meninggalkan Karawang dengan angkuhnya. Maklum, Namanya juga kereta local yang harganya sangat murah, banyak penumpang dengan keluarga, dan anak-anaknya. Kebisingan penumpang lain sedikit mengganggu telinga Salsa. Tanpa pikir Panjang, ia mengambil earphone lalu mengenakkannya dan mulai memutar lagu di platform Spotify yang telah ia daftarkan langganan semenjak satu bulan yang lalu.
***
Semakin larut dalam kesibukannya, Salsa tidak menyadari kereta telah melewati tiga stasiun; Klari, Kosambi, dan Dawuan. Dan sekarang, kereta yang ia naiki itu akan berhenti di stasiun Cikampek. Tersisa satu stasiun lagi untuk sampai di Purwakarta.
Setelah kereta berhenti dengan sempurna, Salsa melirik ke arah jendela; mengamati Stasiun Cikampek yang bersih dan terlihat beberapa penumpang sedang menunggu di peron stasiun. Tanpa sengaja, ia melihat Kembali pria yang mengenakkan jaket baseball itu. Dan benar, pria itu adalah pria yang dirindukan Salsa sampai hari ini.
Dengan cepat, Salsa mengambil barang bawaannya lalu pergi beranjak keluar kereta menuju peron tempat pria itu berdiri.
“Edgar!?” panggil Salsa.
Merasa terkejut, pria yang diyakini Salsa Bernama Edgar itu menoleh ke arah suara perempuan yang memanggilnya.
“Sal…sa?” tanya Edgar terkejut.
“Kamu… kemana aja, Gar?” tanya Salsa tidak kuat menahan air mata.
“A-aku nggak kemana-mana, Sal.”
“Tapi kamu ngga ada!”
“Eh, ini keretanya udah mau berangkat, lho. Bukannya kamu turunnya di Purwakarta?” tanya Edgar.
“Aku ngga peduli. Aku Cuma mau ketemu kamu! Tau gak sih aku selama ini cari kamu! Nungguin kamu! Selalu berharap agar kita bisa kayak dulu lagi! Tapi kamu kemana, Gar? Gara-gara aku Cuma ketemu mana mantan aku sekali doang, kamu langsung pergi dari aku? Dimana yang katanya kamu sayang aku? Dimana yang katanya kamu selalu buat aku, dan aku selalu buat kamu? Dan kenapa kamu gamau dengerin penjelasan aku saat itu, Gar…,” curhat Salsa meluapkan semua yang dipendamnya.
“Salsa, jangan disini,” ucap Edgar.
“Kamu tau nggak, sih? Aku jujur, aku emang salah karena aku nggak bilang ke kamu kalau aku mau ketemu mantan. Itu karena aku belum siap kamu marah. Tetapi juga di satu sisi, aku emang mau nyelesain urusan sama dia, makanya aku mau ketemu. Kamu nggak sayang sama aku, ya?”
“B-bukan gitu, Sal—”
“Buktinya kamu langsung ninggalin aku tanpa dengerin penjelasan apapun dari aku.”
Edgar menghela napas panjang. “Aku minta maaf, Sal. Tapi aku sudah mengambil keputusan itu, dan aku nggak bisa menarik Kembali keputusan yang udah aku ambil,” ucap Edgar seraya mengelus-elus puncak kepala Salsa.
“Jahat!” rintih Salsa menahan tangisan yang sudah sedikit keluar.
“Aku pergi lagi, ya?” pamit Edgar lalu berjalan menjauhi Salsa.
Melihat itu, Salsa menangis sejadi-jadinya tanpa peduli ia sedang berada di tempat umum. Dirinya terjatuh dan menangis bagaikan anak kecil yang sehabis jatuh dari sepeda. Sama-sama luka, tetapi beda rasa sakitnya.
***
Masih menangis, tak peduli ada yang menganggapnya gila. Tak peduli orang-orang di sekitar akan berbicara apa. Yang ia rasakan hanya sakit, dan sedikit pusing.
“Mbak…”
“Maaf, Mbak?”
Terdengar suara sayup pria memanggil dirinya. Dengan rasa malas, ia mengangkat kepalanya lalu membuka matanya secara perlahan berniat melihat siapa yang memanggilnya itu.
“Maaf, Mbak. Kereta ini sudah sampai ke tujuan akhir. Yaitu Stasiun Purwakarta,” ucap kru kereta api tersebut yang dinamakan sebagai kondektur.
Salsa terkejut mendengarnya. Kenapa ia bisa tiba-tiba berada di dalam kereta? Padahal beberapa detik yang lalu, ia masih berada di stasiun Cikampek, lengkap dengan kebisingannya.
“Aku mimpi, ya?” tanya Salsa dalam hati.
“Halo, Mbak?” panggil kondektur itu Kembali.
“Eh, iya. Maaf, Pak, saya ketiduran tadi,” ucap Salsa tersenyum palsu lalu membereskan barang bawaannya.
“Baik, periksa Kembali barang bawannya ya, Mbak. Saya permisi dulu,” pamit kondektur itu pergi.
Diantara rasa sadar atau tidak, Salsa memegang pipi dan daerah matanya, ia terkejut ada air mata yang membasahi daerah pipi dan matanya. Ternyata benar, kejadian bertemu Edgar tadi hanyalah mimpi.
“Rasanya, aku memang tidak bisa bertemu Edgar lagi. Namun, aku akan tetap menunggumu Kembali, Gar.”
***
Menunggumu Kembali
Kita bertemu di sepinya kota
Bertatap di gelapnya dunia
Bertaut Langkah dengan pasti
Lalu saling menitip hati
Kau langkahkan kaki menjauh pergi
Dari diri ini yang tak pernah mengerti
Tentang perasaan yang kau miliki
Dan hati yang kau benci
Masih selalu mencari, kau yang telah pergi
Tinggalkan kenangan disini
Matamu menatap lekat
Sesuatu yang tak pernah terikat
Dan aku masih disini
Tetap menunggumu kembali
*Dengarkan lagunya hanya di Channel Youtube: Refad