Apa kau ingat yang aku katakan terakhir kali? Rasanya,
sangat tidak mungkin akan terjadi di hari ini. Kau melangkah jauh, jauh, dan
semakin jauh. Harapanku padamu hampir sepenuhnya terjatuh.
“Baik-baik ya disana, karena aku tidak bisa memperhatikanmu
lagi.”
Kita bertemu di tempat yang tak terduga dan di
tempat yang tak terencana. Aku pikir, aku tidak akan pernah lagi bisa
melihatmu. Ternyata… Tuhan masih memberiku kesempatan untuk memandangmu.
Kau wanita cantik laksana putri anggun. Lekuk
bibirmu begitu indah yang tak bisa membuatku bangun—dari mimpi. Rasanya, ingin
terus mendekapmu di setiap sudut langit. Percayalah, sampai detik ini, aku
masih mengharapkanmu dengan harapan yang pahit.
Aku sedikit senang, karena ada perubahan; walaupun
sedikit. Aku yang dulu hanya bisa memandangmu dari kejauhan, kini bisa
menyapamu tanpa kehampaan. Kau membalas sapaanku lalu tersenyum.
Sudah berapa lama aku tidak bertemu denganmu? Sial,
tatapan matamu membuat hatiku kacau. Hey, kau mau kemana lagi? Tolong tanggung
jawab setelah mengacaukan hati ini!
Masih saja ada beberapa hal yang aku kagumi dari
dirimu. Walaupun aku tahu, kau tengah mengejar seseorang yang membuatmu bahagia. Pancaran matamu mengatakan seperti itu. Kau tengah bahagia
dengan seseorang.
Oh iya, aku penasaran sekali setelah kepindahanmu.
Bagaimana disana? Apakah menyenangkan? Ataukah membosankan? Yang pasti, kau
sedang berusaha keras, kan?
Semangat!
Haha, lucu sekali. Bahkan kau sama sekali tidak tahu
aku sedang memberimu semangat, kan? Lagipula apa pentingnya semangat dariku
untukmu? Aku bukan siapa-siapamu.
Kau tahu? Setelah aku melihatmu kala itu, jantungku
kembali berdetak keras. Rasa gugup, senang, semuanya bercampur menjadi satu.
Angin bertiup kecil, membuat dedaunan di depanku menari teratur laksana sedang
berdansa.
Senja datang takala orang-orang sudah selesai dengan
segala kesibukannya. Lembayung menari-nari di langit yang telah berubah warna. Cukup
birunya langit saja yang pergi, kau jangan mengikuti!
Langit mulai petang bersamaan dengan kau yang pamit
untuk pulang. Detik itu pula aku tersadar dari lamunan, bahwa kita tak akan
pernah lagi menciptakan pertemuan yang membuat kedua mata kita saling bertatapan.