Kau 2

 



Apa kau ingat yang aku katakan terakhir kali? Rasanya, sangat tidak mungkin akan terjadi di hari ini. Kau melangkah jauh, jauh, dan semakin jauh. Harapanku padamu hampir sepenuhnya terjatuh.

“Baik-baik ya disana, karena aku tidak bisa memperhatikanmu lagi.”

Kita bertemu di tempat yang tak terduga dan di tempat yang tak terencana. Aku pikir, aku tidak akan pernah lagi bisa melihatmu. Ternyata… Tuhan masih memberiku kesempatan untuk memandangmu.

Kau wanita cantik laksana putri anggun. Lekuk bibirmu begitu indah yang tak bisa membuatku bangun—dari mimpi. Rasanya, ingin terus mendekapmu di setiap sudut langit. Percayalah, sampai detik ini, aku masih mengharapkanmu dengan harapan yang pahit.

Aku sedikit senang, karena ada perubahan; walaupun sedikit. Aku yang dulu hanya bisa memandangmu dari kejauhan, kini bisa menyapamu tanpa kehampaan. Kau membalas sapaanku lalu tersenyum.

Sudah berapa lama aku tidak bertemu denganmu? Sial, tatapan matamu membuat hatiku kacau. Hey, kau mau kemana lagi? Tolong tanggung jawab setelah mengacaukan hati ini!

Masih saja ada beberapa hal yang aku kagumi dari dirimu. Walaupun aku tahu, kau tengah mengejar seseorang yang membuatmu bahagia. Pancaran matamu mengatakan seperti itu. Kau tengah bahagia dengan seseorang.

Oh iya, aku penasaran sekali setelah kepindahanmu. Bagaimana disana? Apakah menyenangkan? Ataukah membosankan? Yang pasti, kau sedang berusaha keras, kan?

Semangat!

Haha, lucu sekali. Bahkan kau sama sekali tidak tahu aku sedang memberimu semangat, kan? Lagipula apa pentingnya semangat dariku untukmu? Aku bukan siapa-siapamu.

Kau tahu? Setelah aku melihatmu kala itu, jantungku kembali berdetak keras. Rasa gugup, senang, semuanya bercampur menjadi satu. Angin bertiup kecil, membuat dedaunan di depanku menari teratur laksana sedang berdansa.

Senja datang takala orang-orang sudah selesai dengan segala kesibukannya. Lembayung menari-nari di langit yang telah berubah warna. Cukup birunya langit saja yang pergi, kau jangan mengikuti!

Langit mulai petang bersamaan dengan kau yang pamit untuk pulang. Detik itu pula aku tersadar dari lamunan, bahwa kita tak akan pernah lagi menciptakan pertemuan yang membuat kedua mata kita saling bertatapan.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama