Cita dan Cinta

 



Stasiun Pasar Senen tidak seramai biasanya. Mungkin berakhirnya libur sekolah menjadi penyebabnya. Arus balik mudik menjadi topik berita yang menyebar di seluruh channel televisi. Terutama di stasiun Pasar Senen, jadwal kedatangan lebih banyak daripada jadwal keberangkatan.

Ditengah teriknya matahari yang kian menyengat kulit, seorang gadis berlari panik masuk ke dalam stasiun; menuju ruang tunggu. Diliriknya sekitaran ruang tunggu, namun tidak membuahkan hasil. Orang yang ia cari tidak terlihat di matanya.

Dengan mata sayu, perasaan yang hampir pasrah, ia kembali berjalan lemas keluar dari stasiun. Mungkin memang sudah ditakdirkan seperti itu, pikirnya.

“Nyari siapa?” Tanya seorang laki-laki dengan ransel besar dipundaknya.

***

Kringgg…. Kringgg

Tak butuh waktu lama, Marsha keluar dari kelasnya lalu menuju kantin—tempat yang sudah dijanjikan semenjak istirahat siang tadi. Dilihatnya Rangga yang tengah meneguk segelas es teh. Marsha menghampiri dan memberikan buku latihan matematikanya.

“Kenapa?” Tanya Rangga bingung.

“Ternyata Trigonometri itu gampang, ya!”

Masih bingung, Rangga mengangkat alis sebelah kanannya. Marsha sedikit kesal. Kenapa pacarnya menjadi pura-pura tidak mengerti? Marsha segera membuka bukunya dan menunjukkan soal yang ia kerjakan dan telah dinilai tadi.

“Nyontek, ya?” tuduh Rangga sembarangan.

“Enak aja!” cubit Marsha ke lengan Rangga. “Yang ada, teman-teman aku yang nyontek ke aku!”

“Iya-iyaa, aku percaya, kok.” Rangga tersenyum. “Pacar aku kan pintar,” ucap Rangga seraya megacak-acak rambut Marsha.

Marsha terseyum malu. “Pulang?”

“Nanti dulu. Es Teh nya masih belum habis.”

“Okey. Oh iya, kamu kapan ujian nasionalnya?”

Rangga adalah murid kelas 12 SMA yang sebentar lagi akan melaksanakan ujian nasional. Di sela-sela kesibukkan belajarnya, refreshing sangat diperlukan. Biasanya orang-orang akan memutuskan hubungan karena ingin fokus belajar. Berbeda dengan Rangga, pemuda itu membutuhkan Marsha sebagai penyemangatnya. Rangga mempunyai keinginan untuk bisa masuk ke universitas ternama di Yogyakarta.

Hubungan Rangga dan Marsha telah berjalan satu tahun. Marsha adalah anak kelas 11 SMA yang terpintar. Semester satu kemarin, ia mendapatkan peringkat satu di dalam kategori “Pintar UAS”.

“Seminggu lagi—”

“Dan kita akan pisah, ya?” sela Marsha di akhir jawaban Rangga. “Kamu ke Jogja, dan aku masih disini,” ucap Marsha dengan raut muka yang sedih.

“Raga kita yang pisah. Bukan hati.”

Marsha masih terdiam. Menatap gelas es teh yang kian berembun. “Kalau kamu jodoh aku, kita pasti akan bersama-sama sampai kulit kita keriput, uban tumbuh, Sha.”

Marsha tersenyum. “Semangat ya, Rangga!”

***

Sebuah sepeda motor melintasi jalanan Lippo, Cikarang. Cuaca siang ini sangat mendukung. Tidak panas, dan juga tidak hujan. Ujian Nasional telah selesai. Hanya tinggal menunggu surat keterangan lulus.

Setelah memarkirkan kendaraan, mereka berdua berjalan menuju kursi taman. Tak lupa membeli beberapa cemilan di minimarket sebelum sampai ke taman ini.

“Gimana hasil SNMPTN nya?”

“Itu yang mau aku bicarakan. Makanya aku mengajak kamu bertemu,” jawab Rangga.

“Lolos?” Tanya Marsha.

Rangga terdiam. Wajahnya menyimpan raut kesedihan. Tangannya masih bermain-main dengan botol cola yang ia beli di minimarket tadi.

“Rang?” panggil Marsha.

“Menurut kamu?” Rangga bertanya balik.

“Udah ketebak! Kamu ngga akan bisa ya nge-prank aku!”

Rangga tertawa kecil. “Alhamdulillah, aku lolos seleksi SNMPTN di universitas favorit aku,” jawab Rangga terlihat bangga.

“Jadi, aku benar sendirian, dong?”

“Takut kangen ya sama aku?”

“Nggak!” Marsha memalingkan wajahnya. “Siapa yang bakal kangen sama kamu?”

“Ohh, jadi ngga bakal kangen nih?” Tanya Rangga setelah meneguk cola yang ia pegang sedari tadi.

“Nggak!”

“Yaudahh.” Rangga berdiri dari kursi taman. “Aku berangkat sekarang ke Jogjanya, ya.”

“Jangan!” cegah Marsha reflek menahan tangan Rangga agar tidak jadi pergi. Gadis itu menunjukkan wajah kesal yang sangat imut.

“Lho, katanya gak bakal kangen aku, kan?”

“Ishhhh!” Marsha merengek kesal. Apa Rangga tidak tahu betapa rasa galau dalam diri Marsha? Hanya menghitung hari untuk berpisah dengan Rangga.

Rangga tertawa kecil, membalikkan badannya ke arah Marsha. “Coba lihat aku,” pinta Rangga. Awalnya Marsha merasa malas, namun beberapa detik gadis dengan rambut pendek yang memakai kacamata itu menatap lekat mata Rangga.

 “Semakin dewasa, aku semakin mengerti tentang pentingnya sebuah cita-cita. Terkadang aku bingung antara cita dan cinta. Mana yang harus aku pertahankan? Cinta itu bisa membuat aku betah, sementara cita membuat aku lelah. Maksud aku dalam proses menggapai nya.”

Marsha masih menatap Rangga dan mendengarkan setiap kata yang dikeluarkan kekasihnya itu sambil menebak, ke arah mana Rangga akan membawa percakapannya.

“Seiring waktu, aku mulai mengerti. Dan aku yakin dengan apa pilihanku diantara cita dan cinta. Kamu mau tahu?” Tanya Rangga.

Marsha mengangguk cepat. “Apa pilihan kamu?”

“Cita-cita,” jawab Rangga.

Marsha ber-oh ria. Tidak menyangka dirinya kalah dengan cita-cita milik Rangga. Tetapi itu sudah menjadi keinginan dan pilihan Rangga. Marsha tidak berhak menentang itu.

“Semoga cita-cita kamu tergapai,” ucap Marsha masih dengan hati yang galau.

Aamiin. Terima kasih, Marsha.”

Rangga mengulurkan tangannya ke Marsha. “Udah, jangan nangis disini. Mau beli es krim?”

Marsha tahu bahwa Rangga sedang berusaha untuk membalikkan mood nya dan membuatnya kembali ceria. Ice cream tidak cukup untuk membuat Marsha kembali merasa bahagia. ia ingin lebih dari itu.

“Oh iya,” ucap Rangga, menghentikan kaki mereka berjalan. “Cita-cita aku memang ingin menjadi seorang dokter yang bisa menolong banyak orang. Tapi kamu tahu apa cita-cita terbesar aku?”

“Apa?” Tanya Marsha.

“Hidup menua bersama kamu, sampai kita punya anak, cucu, kulit keriput, dan rambut beruban,” jawab Rangga seraya mengelus-elus puncak kepala Marsha.

***

Rangga berjalan keluar dari kamar menuju dapur, tempat mamahnya bekerja. Hari ini ia berangkat menuju Jogja untuk mulai mengurus keperluan kuliahnya dan menjadi mahasiswa baru.

“Udah semuanya? Ngga ada yang ketinggalan?” Tanya mamahnya Rangga.

“Engga, Mah.” Rangga tersenyum haru.

“Hati-hati ya disana. Kalau ada apa-apa bilang aja. Kemungkinan minggu depan mamah baru ke Jogja. Nunggu papah ngga sibuk dulu. Maaf ya mamah ngga bisa mengantar kamu ke stasiun. Kamu diantar papah ya.”

“Siap, Mah!” Rangga mendekat dan mencium punggung telapak tangan milik mamahnya itu. Selesai berpamitan, Rangga segera masuk ke mobil dan berangkat menuju stasiun Pasar Senen, Jakarta.

“Pacarmu udah kamu kabari?” Tanya papahnya Rangga.

“Udah, Pah.”

“Inget ya, disana jangan main wanita. Pertahankan hubungan kamu dengan Marsha itu.”

“Siap, Papah!”

***

Seperti biasa, alarm pagi tidak membangunkan Marsha dari mimpinya. Tepat jam 9 pagi, Marsha terbangun karena perutnya yang terus merasakan ingin buang air besar. Ia mengambil handphone nya dan melihat notifikasi whatsapp yang muncul.

Rangga

Aku berangkat dulu ya, Sha.

Masih lama, sih.

Nanti sekitar jam 11-an dari Pasar Senen.

Gausah nganter aku, ya.

Kamu jaga diri ya di sana.

Byee, Cantik!

I love you forever!

 

Setelah membaca itu, Marsha segera mengecek jam.

“Sial!”

Gadis itu segera beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas membersihkan diri, dan sarapan. Untungnya mamahnya Marsha sedang pergi ke pasar. Jadi gadis itu dengan bebas tanpa izin untuk menemui Rangga untuk yang terakhir kalinya.

Selesai mengucapkan terima kasih ke abang Grab, Marsha segera berjalan cepat menuju loket dan membeli tiket Commuter Line tujuan Pasar Senen. Untungnya, kereta Commuter Line sudah beroperasi di stasiun Cikarang. Itu sangat memudahkan bagi warga Cikarang untuk berpergian menuju Jakarta.

Tertahan sinyal karena harus mengalah pada kereta jarak jauh di stasiun Tambun membuat Marsha sangat khawatir. Waktu menunjukkan pukul 10 lewat 15 menit. Ia harus sampai di stasiun Pasar Senen dalam 45 menit lagi.

Tepat pukul 11 kurang lima menit, Marsha sampai di stasiun Pasar Senen. Yang lebih menyebalkannya lagi adalah, ia harus turun ke underpass dan kembali naik ke halaman stasiun Pasar Senen. Ia segera masuk ke stasiun yang tidak begitu ramai penumpang. Mungkin karena sekarang waktunya arus balik. Jadwal kedatangan lebih banyak daripada jadwal keberangkatan.

“Permisi, Pak. Kereta tujuan Yogyakarta kapan berangkatnya ya, Pak?” Tanya Marsha ke satpam, untuk memastikan.

“Sebentar lagi, Mbak,” jawab satpam yang memakai helm putih dengan pentungan yang tergantung di pinggangnya tersebut.

“Terima kasih, Pak,” ucap Marsha lalu menuju ruang tunggu staisun Pasar Senen.

Ia melihat sekeliling dan mencari keberadaan Rangga. Namun tidak kunjung menemukannya. “Kamu kemana, sih?!”

Sudah beberapa kali Marsha telepon, tidak diangkat. Padahal tertulis status berdering. Dengan tenaga yang hampir habis, Marsha berniat menyerah dan kembali pulang ke Cikarang. Marsha berjalan dengan lemas keluar dari ruang tunggu.

“Nyari siapa?” Tanya seorang laki-laki dengan ransel besar dipundaknya.

Marsha segera menoleh ke arah suara yang sangat ia kenali itu. Kini Rangga berada dalam tatapan mata Marsha. Pemuda itu tersenyum manis. Sementara Marsha hampir menangis.

“Kan udah aku bilang, ngga usah nganterin aku. Kenapa kamu maksa untuk ke sini?” Tanya Rangga.

Marsha tak mampu menjawab. Lalu langsung memeluk erat Rangga. Air mata nya mulai perlahan menetes di pundak Rangga.

“Nggak akan sah kalau kamu mengucapkan selamat tinggalnya Cuma di whatsapp!”

“Siapa yang bikin peraturan seperti itu?” Tanya Rangga sedikit tertawa.

“Aku!”

Marsha melepaskan pelukannya. Mereka saling menatap lekat yang akan menjadi tatapan terakhir kalinya. Tak lama, petugas stasiun menyiarkan pesan bahwa kereta menuju Yogyakarta akan segera berangkat yang mengharuskan Rangga harus masuk ke dalam kereta.

“Aku… pergi dulu, ya,” pamit Rangga.

Dengan mulut yang terasa berat menjawab, Marsha harus rela membiarkan Rangga pergi. “Iya… hati-hati disana, ya?”

“Pasti.” Rangga tersenyum. “Selamat tinggal, Sha.”

“Selamat tinggal, Rang,” balas Marsha.

Rangga tersenyum lalu masuk ke dalam kereta, meninggalkan hati disamping Marsha. “Aku pasti nyusul kamu, Rang. Tunggu, ya?”

***


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama