Sebuah kamera digital tua berwarna hitam dikeluarkan
dari tasnya. Orang yang mengendalikan kamera itu membidik kesana kemari untuk
mencari sudut pandang yang bagus. Hebatnya, walaupun kamera tua, hasil dari
jepretannya masih sangat bagus. Pemuda itu menghampiri beberapa security yang
tengah berjaga di ujung peron stasiun.
“Permisi, Pak,” ucap pemuda itu dengan kameranya
yang ia bawa.
Kedua security itu langsung melihat apa yang penumpang
kereta itu bawa. Baru-baru ini PT Kereta telah mengeluarkan peraturan kepada para
penumpang untuk tidak diperbolehkan mengambil gambar ataupun video menggunakan
kamera digital.
“Iya?” jawab kedua security tersebut.
“Begini, Pak. Saya ingin meminta izin untuk
mengambil beberapa gambar di stasiun ini dan akan saya tampilkan di blog saya.”
Edgar, seorang pelajar SMK yang hobi menulis sebuah
blog. Sudah satu tahun ia berkecimpung di dunia blogger. Banyak hal yang ia
bahas di blog miliknya tersebut. Mulai dari teknologi, makanan, kesehatan, dan
lain-lain. Namun ada beberapa yang belum ia coba, yaitu blog tentang
tempat-tempat umum.
Hari ini ia telah berencana untuk berangkat dari
Cikarang menuju Purwakarta untuk mengabadikan beberapa gambar dan juga sebagai
refrensi tulisan di blog selanjutnya. Jalan-jalan sambil mengerjakan hobi,
pikirnya.
“Kalau untuk itu, kami tidak bisa mengizinkan anda.
Lebih baik anda langsung izin saja ke kepala stasiun,” jawab security yang
memakai helm dinasnya.
Egdar merasa sedikit malas untuk meminta izin ke
kepala stasiun. Toh, seharusnya para pegawai di stasiun juga pastinya sudah
di-briefing untuk peraturan-peraturan yang ada di stasiun tersebut.
Dengan malas, Edgar membuka handphonenya lalu
menunjukkan blog yang ia buat ke kedua security tersebut.
“Ini blog saya, Pak. Saya sudah memulai satu tahun
yang lalu.”
Kedua security itu menatap lama blog yang Edgar
tunjukkan. “Baiklah, silahkan. Tetapi tidak sampai lebih dari lima foto, ya?”
ujar security yang tidak memakai helm dinas tersebut.
Edgar mengangguk lalu berterima kasih. Foto yang
pertama ia ambil adalah foto dari lokomotif kereta yang menujukkan
rangkaian-rangkaian dibelakangnya. Tak lupa, Edgar juga mengambil foto stasiun
dan padatnya penumpang Commuter Line pada jalur sebelah.
***
Edgar selesai memeriksa foto-foto yang ia ambil di
stasiun Cikarang tadi tepat setelah melewati sungai Citarum. Kini, kereta yang ia naiki sudah memasuki
Kabupaten Karawang. Edgar istirahat sebentar; memejamkan matanya. Sebenarnya
tidak istirahat. Ia masih berpikir tulisan apa yang akan ia buat untuk
selanjutnya.
Suara pengumuman terdengar di sela lamunan Edgar.
Pengumuman itu berisi bahwa kereta yang Edgar naiki akan tiba di stasiun
Karawang. Edgar segera membenahkan dirinya. Takut ada penumpang lain yang akan
menempati kursi kosong disebelahnya. Walaupun pemuda itu sendiri berharap kalau
kursi disebelahnya kosong sampai Purwakarta.
Laju kereta semakin pelan hingga berhenti tepat pada
stasiun Karawang. Edgar mengintip dari sela kelopak matanya. Terlihat sedikit
penumpang yang naik di stasiun Karawang ini. Hati Edgar menjadi lega dan
kakinya sedikit memakai kursi di sebelahnya. Kereta kembali berjalan sesuai
jadwal. Edgar semakin lega tidak ada penumpang lain di sebelahnya. Pemuda itu
kembali membenamkan dirinya dalam lamunan.
“Permisi,” ucap seorang wanita.
Edgar terkejut dan langsung membuka mata. “Iya,
Mbak?”
“Ini benar gerbong 4, ya?”
“Iya, Mbak. Benar.”
“Maaf, Mas mengganggu Mas tidur tadi. Sesuai tiket,
tempat duduk saya ada di sini.”
Edgar semakin terkejut. “Boleh saya lihat tiketnya,
Mbak?”
Perempuan itu mengangguk. Lalu menunjukkan tiketnya.
Edgar melihat dengan teliti, dari Nama, Nomor gerbong, hingga nomor tempat
duduk. Dan itu benar, perempuan itu yang mengisi tempat duduk di sebelah Edgar.
“Iya benar. Mbak di sebelah saya,” jawab Edgar
seraya mengembalikan tiket perempuan itu.
“Maaf ya,
Mas, tadi saya mengganggu,” ujar perempuan itu duduk di sebelah Edgar.
“Engga apa-apa, kok. Saya hanya tidur ayam tadi.”
Salsa, itu nama yang tertera di tiketnya tadi. Edgar
merasa tidak sopan karena melihat data diri perempuan. Namun entah mengapa,
mata Edgar langsung tertuju pada namanya.
Salsa tersenyum lalu mengeluarkan sapu tangan dan
sebotol air minum dari dalam tasnya. “Minum, Mas?” tawar Salsa.
“Tidak, terima kasih.”
Sebelum Salsa minum, ia menyeka keringat di wajahnya
terlebih dahulu menggunakan sapu tangan. Dirinya seperti habis berlari. Edgar
mencuri pandang. Salsa mempunyai rambut pendek dan kacamata yang menggantung di
hidungnya. Gadis itu terlihat sempurna di mata Edgar. Terlebih lagi saat gadis
itu sedang meminum air.
Salsa yang sedikit risih, mulai membuka suara. “Ada
apa, Mas?” Tanya gadis itu. Sementara Edgar yang tak bisa menjawab langsung
memalingkan mukanya.
“Apa rambutku aneh? Rambutku berantakan?” Tanya
gadis itu makin mendekat pada Edgar.
Terpaksa, Edgar menoleh. “T-tidak. Kau hanya sedikit
keringetan.”
Salsa kembali menjauh. “Iya, tadi aku sedang membeli
air di minimarket stasiun. Tak kusangka, kereta sudah mau berangkat. Aku lari
mengejar kereta yang telah berjalan pelan,” ujar Salsa layaknya bercerita
seperti anak kecil.
Edgar tertawa kecil. “Namaku Edgar,” ucap Edgar
mengulurkan tangannya untuk berjabat.
Salsa membalas uluran tangan Edgar. “Kau pasti sudah
tahu namaku. Kau melihatnya dari tiketku, kan?”
“Salsa.”
Edgar dan Salsa tersenyum dengan tangan yang masih
saling menjabat
***
Edgar dan Salsa terlarut dalam candaan yang random.
Sang Surya semakin terik menyinari bumi. Di dalam kereta yang sejuk, Edgar
merasakan hangat. Entah itu hangat karena tembusnya sinar matahari atau hangat
karena keberadaan gadis cantik disampingnya.
Roda kereta berdecit. Goyangan kereta membuat Salsa
sedikit kesulitan mengambil tas yang disimpan di bagasi atas. Edgar turut
membantu seiring kereta yang berjalan semakin pelan.
“Jadi, kau turun disini?” Tanya Edgar.
“Iya, sayang sekali kita akan berpisah,” jawab Salsa
dengan nada bercanda. “Aku duluan, ya?”
Edgar terdiam sesaat. “I-iya, hati-hati, Salsa.”
Salsa tersenyum lalu berjalan pergi meninggalkan
Edgar. Gadis itu menghilang tepat diujung gerbong. Edgar melihat dari kaca jendela,
Salsa berjalan ke arah pintu keluar stasiun Cikampek. Kini, Gadis itu
benar-benar menghilang dari pandangan Edgar.
Baru saja mau duduk, Edgar menemukan benda yang
asing baginya, Sebuah buku bersampul cream dengan tulisan “Salsa” di halaman
pertamanya.
“Kau tidak hanya
meninggalkan buku untuk aku baca, tetapi kau juga meninggalkan hati untuk aku
jaga.”