Berakhir


Sebuah tas selempang kecil tiba-tiba terjatuh dari atas meja menimbulkan sedikit kejutan bagi Edgar. Pemuda itu kini berada di kamar indekos teman band-nya. Seperti biasa, mereka sedang mempersiapkan keperluan untuk manggung di salah satu kedai kopi di daerah Karawang nanti malam.

Dengan cepat, Edgar mengambil kembali tas yang tadi terjatuh. Tak disangka, sebuah buku catatan dengan sampul berwarna cream keluar dari tas yang tidak tertutup itu. Seketika Edgar membeku, ia mengingat buku itu. Tetapi yang ia bingungkan adalah kenapa ada di dalam tasnya.

“Buku apa itu?” tanya temannya Edgar.

Edgar langsung kembali sadar dari lamunannya. “Ah, ini buku lama ku,” jawab Edgar berbohong. “Yasudah, udah siap semua, kan?”

“Sudah!” jawab serempak teman band-nya Edgar.

Hari ini adalah hari pertama kali mereka manggung setelah hampir tiga bulan tidak bermain music di depan banyak orang. Tentu saja karena kesibukkan Edgar yang waktu itu sedang pergi ke luar pulau untuk mengabdi kepada masyarakat. 

Tentu saja kerinduan itu membuat membuat mereka semua sangat antusias dan bersemangat untuk kembali menghibur penoton dengan alunan nada.

***

Revan, dia segalanya bagiku. Tidak terlalu penting juga, sih. Ada yang lebih penting dari dia. Yaitu bagaimana caranya bertahan hidup di dunia yang sudah tidak waras ini.

Ilmu?

Pendidikan?

Pekerjaan?

Mungkin ada benarnya ketiga aspek tersebut adalah hal penting yang membuat kita bisa bertahan hidup. Tetapi kembali pada kenyataan, di ketiga aspek itupun kita harus bersaing satu sama lain.

Kenapa, sih, dunia ini penuh dengan persaingan? Bukankah manusia itu adalah makhluk social yang saling membutuhkan bantuan orang lain? Lalu kenapa pada kenyataannya manusia saling bersaing satu sama 
lain. Tidak apa-apa jika persaingan itu secara sehat. Jika sudah tidak sehat? Pasti akan ada pihak yang dirugikan! Dan pada kenyataannya, persaingan antar manusia itu terlalu banyak persaingan yang tidak sehat. Saling serang satu sama lain. Saling menjatuhkan satu sama lain, dan lain-lain.

Aku pernah bermimpi untuk membangun sebuah dunia yang tidak ada persaingan di dalamnya. Dunia 
yang benar-benar damai. Tetapi itu juga tidak mungkin. Kita ini diciptakan berpasan-pasangan. Ada 
positif, ada negative. Ada orang jahat, ada orang baik.

Coba bayangkan jika tidak ada orang jahat. Hanya ada orang baik. Lalu apa tugasnya polisi, tentara, dan pekerjaan keamanan lainnya? Begitu pula jika tidak ada orang baik. Ya dunia ini pasti sudah kacau karena 
kejahatan dimana-mana. Dunia inimemang perlu keseimbangan.

Namaku Salsa Putri Cendana. Aku anak terakhir dari dua bersaudara. Memang, sih, aku berasal dari keluarga yang berada. Namun itu tidak semenyenangkan yang ada di film-film. Kedua orang tuaku sangat sibuk sekali dengan bisnis mereka. Kakakku sudah menikah dan tinggal di Semarang. Dirumah aku hanya tinggal bersama bibi. Mamah dan Papah sangat jarang sekali pulang ke rumah.

Aku bukan broken home, sih. Tetapi hanya kekurangan kasih sayang orang tua. Meskipun mamah dan papah selalu memberiku uang, tetapi itu bukanlah kebahagiaan yang aku inginkan.

Hingga tiba saatnya aku masuk SMA. Memang benar, SMA adalah masa-masa yang paling indah. Tetapi herannya, kenapa banyak anak SMA yang ingin cepat-cepat lulus? Ya, aku juga sama sih seperti itu dulu.

Ingin tahu bagaimana warna kembali ke dalam hidupku? Pria itu bernama Revan. Dia yang membawa warna itu kembali.

Pria yang benar-benar membuatku merasa seperti ratu. Rasa kasih sayang selama ini tak aku rasakan aku dapatkan dari Revan. Bahkan ketika ulang tahunku yang ke-17, dia memberiku kado yang sangat spesial bagiku. Sebuah miniatur roket yang selama ini aku inginkan. Mungkin tidak spesial bagi orang lain. Tetapi bagiku itu sangat spesial. Tidak apa-apa, setiap orang punya hal spesial yang berbeda-beda, kan?

Dari roket, aku belajar bahwa kita perlu membawa banyak bagian yang sangat diperlukan menuju tujuan. Namun ketika sudah sampai tujuan dan dalam perjlanan balik, kita membuang beberapa bagian itu dan 
menyisakan bagian-bagian yang benar-benar penting saja. 

***

Lampu kuning menghiasi gelapnya malam di kedai kopi tempat Edgar dan kawan-kawan manggung. Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Beberapa pengunjung sudah mulai pergi meninggalkan sisa makan dan 
minuman di meja kedai kopi itu.

Di bawah alunan nada, Edgar kembali teirngat akan kenangan yang sedang berusaha ia lupakan. Di tempat ini, dia tempat ini ia dipertemukan kembali dengan perempuan yang kelak akan menjadi kekasihnya, lalu 
menjadi mantannya.

“Jadi kami punya lagu baru. Ini liriknya saya tulis ketika sedang dalam perjalanan ke luaran pulau. Yaa, gak bagus-bagus amat, sih. Tapi apa salahnya mencoba membuat lagu, yakan?” ucap Edgar ingin memainkan lagu selanjutnya.

“Lagu ini menceritakan tentang sepasang manusia yang dulunya pernah saling mempunyai rasa, saling menitip hati, namun salah satunya berkhianat dan membuang jauh perasaan itu. Langsung aja deh, ya?”

“Judulnya, Berakhir,” ucap Edgar lagi, lalu memulai memainkan intro lagu itu.

***

Di kamar indekos, Salsa dan temannya tengah bersiap-siap ke tempat Edgar manggung. Ia tidak bisa terus-terusan seperti itu ke kekasihnya. Hubungan yang telah lama ia bangun, tidak semestinya berakhir begitu saja. Kesalah-pahaman membuat semuanya berantakan.

Salsa berangkat dengan perasaan yang menggebu-gebu ingin Edgar mendengarkan semuanya dan tidak 
lagi salah paham. Banyak hal yang harus dia jelaskan. 

Salsa memacukan motornya menembus gelapnya malam. Ia hampir tidak ingat Edgar memiliki jadwal manggung malam ini. Dengan perasaan yang campur aduk, ia tetap pada pendiriannya untuk menjelaskan dan mempertahankan hubungannya. 

Ada alasan yang ingin dia sampaikan. Alasan yang akan menjawab semua pertanyaan Edgar. Alasan yang akan membuat Edgar mengerti. Dan alasan yang mungkin akan menyelamatkan hubungannya. 

Sesampainya di kedai kopi, Salsa segera mencari keberadaan Edgar. Suara band masih terdengar tatkala Salsa masih mencari. 

"Tinggalkan aku yang lelah..." 

Sayup terdengar sepatah lirik di akhir lagu yang sedang dimainkan oleh band itu. 

"Edgar!" Seru Salsa pelan tidak berniat memanggil. 

"Baik, cukup sekian penampilan dari kami. Maaf jika ada kesalahan. Terima kasih, dan selamat malam!"

***

Seusai merapikan alat musik, Edgar dan kawan-kawan band-nya istirahat sejenak menikmati malam yang mereka nanti-nanti. Pemuda itu mengambil satu batang rokok dari bungkusnya lalu membakar rokok itu sampai keluar asap yang tidak menyehatkan tubuh. 

"Lancar, kan, malam ini?" Tanya Edgar selepas menghembuskan napas yang bercampur asap bakaran tembakau. 

"Yaaa, lumayanlah, meskipun masih ada salahnya sedikit," jawab temannya Edgar.

"Tapi, menurut kalian, kita perlu be—"

"Gar!" Panggil seorang perempuan memotong pembicaraan Edgar. 

"Salsa?" Tanya Edgar melongo terkejut.

"Aku mau ngomongin sesuatu. Kamu mau, kan?" Tanya Salsa. 

Edgar tak enak menolak di depan teman-temannya. Lagipula, ada sesuatu hal juga yang ingin Edgar bicarakan. "Oke, ayo," ajak Edgar dengan nada dingin. 

Edgar dan Salsa berjalan sedikit menjauh dari keramaian. Mereka berdua berbincang layaknya pasangan yang tengah berkelahi tentang hubungan. 

"Gar, please, kamu dengarkan penjelasan aku dulu!" Seru Salsa tak sabaran. 

"Oke-oke. Aku bakal mendengarkan penjelasan kamu. Tetapi aku tetap tidak akan merubah pilihanku," balas Edgar. 

Ada rasa senang, ada rasa kecewa juga yang Salsa rasakan. Ia senang Edgar mau mendengarkan penjelasannya. Tetapi ia juga kecewa Edgar berkata tidak akan merubah pilihannya. 

"B-baiklah, Gar."

Salsa menghirup napas panjang sebelum mulai menjelaskan. "Kamu tau itu siapa?" Tanya Salsa. 

"Iya, mantanmu, kan?" 

"Entah darimana kau tahu, tetapi itu benar, Gar."

"Jadi?" Tanya Edgar. 

"Mungkin terdengar basi, tetapi aku jujur, aku tidak ada apa-apa dengan dia, Gar. Dia hanya masa laluku. Dia sekarang hanya teman bagiku. Sekarang hanya menjadi sahabat akrab. Tidak lebih lagi."

"Terdengar klise."

"Gar, aku serius!"

"Setelah putus, kamu sangat berharap balikan dengannya, kan? Bukankah kejadian kemarin itu adalah peristiwa yang sangat kamu tunggu?" Cerca Edgar menyudutkan Salsa.

"Dulu memang seperti itu, tetapi setelah bertemu denganmu—"

"Nih," ucap Edgar memotong sambil menunjukkan buku catatan kecil berwarna cream dari balik jaketnya. 

Salsa terkejut melihat buku itu. Buku yang sudah kurang lebih satu tahun hilang, taunya ada pada Edgar. Buku yang berisi semua curhatannya mulai dari keluarga, sekolah, hingga percintaan tertulis rapi di buku itu. 

"D-dimana kamu mendapatkan ini?!" Tanya Salsa masih terkejut seraya menerima buku catatan itu dari tangan Edgar.

"Kau meninggalkannya di kereta, saat kita pertama kali bertemu kala itu," jawab Edgar. "Lebih tepatnya, semesta yang meninggalkannya untukku, agar aku tahu dan dapat mengambil keputusan jika dihadapkan pada kondisi seperti ini." 

"Oke, Gar. Aku akui bahwa di buku itu aku memang menuliskan aku sangat berharap bahwa bisa kembali lagi dengan Revan. Tetapi itu dahulu! Sekarang, aku tidak menginginkan hal itu—"

"Apakah aku dapat percaya itu?"

"Gar...." Lirih Salsa dengan mata yang memerah—membendung air mata agar tidak jatuh. 

"Kita sudah satu tahun, lalu dengan bodohnya aku lebih memilih untuk balik ke mantanku, daripada melanjutkan kisah denganmu?

Perlahan, air mata Salsa mulai terjatuh. "Jika memang aku memilih untuk balik dengan mantanku. Lalu untuk apa aku rela cepat-cepat menyelesaikan tugas dan datang ke tempat ini, selarut ini?"

"Aku sayang kamu, Gar!"

"Aku mencintaimu, Edgar!"

Edgar terdiam kehabisan kata. Ia belum bisa untuk menjawab semua kata kata yang Salsa lontarkan. Terlebih lagi perempuan itu sedang menangis. 

Tanpa mengulur waktu lebih lama. Edgar langsung menarik tubuh Salsa dan mendekapkannya dalam dekapan Edgar. Mungkin pelukan terakhir, pikir Edgar. 

"Sudah, ya. Tidak usah menangis. Aku tahu kamu jujur. Tetapi aku tetap pada pilihanku. Aku sudah terlanjur kecewa. Aku sudah tak mau lagi merasakan patah hati."

"Terima kasih, ya, untuk selama ini. Maaf jika aku tidak bisa menjadi yang terbaik," ucap Edgar seraya mengelus-elus puncak kepala Salsa. "Aku memilih untuk mundur dan keluar dari hubungan ini."

Tangis Salsa semakin menjadi. Namun tidak begitu kencang. Ia segera melepaskan pelukan itu dan sedikit mendorong tubuh Edgar. 

"Akan aku buktikan, Gar, bahwa aku benar benar sayang padamu. Bahwa aku benar-benar ingin memilikimu sepenuhnya. Bahwa hanya aku yang pantas untukmu, dan hanya kau yang pantas untukku!"

"Akan aku buktikan, Gar!" Ucap Salsa dengan sedikit penekanan lalu berjalan pergi meninggalkan Edgar.

"Salsa!" Teriak Edgar, namun tidak dipedulikan. 

Ingin mengejar, tetapi kembali lagi ia terpaku oleh buku catatan kecil berwarna cream yang terjatuh di tanah. Edgar mengambil buku catatan itu lalu menyimpannya kembali.

"Setiap pilihan mempunyai resikonya masing-masing. Dan ketika sudah memilih, kita harus siap ntuk menghadapi resiko itu. Aku yakin dengan apa yang aku pilih."



Desain Cover: Risma (@idzcil)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama