Pendekatan

 



Di sebuah kedai kopi yang tak begitu jauh dari jalan raya, tersusun rapi satu set alat musik band yang siap digunakan. Kota Karawang menyimpan sejuta keindahan saat malam hari. Lampu kendaraan menghiasi malamnya jalanan. Selepas menyetel alat musik agar enak dimainkan, pemuda yang menggunakan hoodie hijau itu mulai menyapa pengunjung kedai kopi yang tengah menikmati malam dengan beberapa menu yang disajikan.

“Oke, sebuah lagu yang mungkin kalian tidak tahu, ya? Judulnya, And I Need You yang diciptakan oleh Fiersa Besari.”

Tanpa menunggu lama, langsung saja Edgar memainkan intro dari lagu tersebut. Perhatian pengunjung kedai kopi mulai teralihkan kepada pemuda yang akan menyanyi tersebut.

“The silhouette that almost burn, all pictures in my head are gone, but one still remains and I see it clear.”

Langit dipenuhi suara live music itu. Ada beragam pengunjung kedai kopi tersebut. Ada yang keluarga, pasangan, bahkan seorangan juga ada. Kedai kopi ini terlihat ramai. Memiliki tempat yang strategis juga. Tidak jauh dari kedai kopi tersebut, terdapat dua universitas dengan jarak yang berdekatan.

“And I need you… like the earth need the sun, like the flowers need rain, like a song need a poem, like the child need a blanket.”

Lagu telah selesai dinyanyikan. Beberapa Pengunjung memberi apresiasi tepuk tangan yang meriah untuk lagu pertama tersebut.

“Terima kasih,” ucap pemuda itu tersenyum. “Jadi, lagu tadi itu bercerita tentang sepasang pemuda yang belum sempat menjadi kekasih, namun dipisahkan oleh keraguan. Tapi pada akhirnya mereka bertemu kembali. Memang ya, jodoh itu tak akan kemana.”

“Untuk lagu selanjutnya, saya tidak sendirian. Ada beberapa teman saya yang akan membantu saya,” lanjut pemuda itu berbicara sebelum memulai lagu selanjutnya.

“Nikmat Patah Hati, Anarcute!!”

***

Dengan langkah yang gontai, dua orang perempuan memasuki area kedai kopi di dekat kampusnya. Banyak yang bilang bahwa mahasiswa semester akhir akan sekarat oleh tugas. Tetapi sama saja dengan mahasiswa semester awal, mereka terus-menerus di bom bardir oleh tugas.

“Gimana tugas probabilitas?” tanya perempuan yang memakai kacamata dengan jus alpukat ditangannya.

“Udah pasti sih ini mah bergadang lagi sampai malam. Bahkan bisa sampai pagi.” jawab temannya.

“Kasian ih sama laptop aku.”

“Kenapa?”

“Dipaksa kerja terus seharian, haha.”

“Haha, yaudahlah. Sekarang kita santai, sebelum nanti malam terbantai. Itu ada live music-nya juga. Pasti sedikit meredakan otak kita yang udah ngebul.”

“The silhouette that almost burn, all pictures in my head are gone, but one still remains and I see it clear.”

Suara pemuda yang menyanyi itu enak di dengar oleh perempuan berkacamata yang tengah meminum jus alpukat kesukaannya. Ia melihat sekilas ke arah penyanyi kafe itu lalu kembali fokus ke layar handphone-nya.

“Eh menurut kamu, cowok yang bisa nyanyi sambil main gitar itu romantis gak, sih?”

Perempuan itu membuyarkan fokusnya dari handphone yang ia pegang. “Biasa aja, sih. Tapi ada kala nya juga ketika kita suasana hati kita sedang buruk, kita membutuhkan asupan music untuk menenangkannya.’

Teman dari perempuan berkacamata itu mengangguk-angguk saja. Lalu kembali menikmati music yang di pertujunkkan sampai lagu tersebut selesai dinyanyikan.

“Kamu sibuk banget sama handphone. Nggak ngedengerin dia lagi nyanyi? Padahal dia ganteng, lho.”

Perempuan berkacamata itu kembali meninggalkan fokusnya dari handphone. “Aku dengar juga, tahu. Tapi aku ngga ngerti bahasa Inggris, jadi aku main handphone saja, ah.”

“Jadi, lagu tadi itu bercerita tentang sepasang pemuda yang belum sempat menjadi kekasih, namun dipisahkan oleh keraguan. Tapi pada akhirnya mereka bertemu kembali. Memang ya, jodoh itu tak akan kemana,” ucap penyanyi tersebut ke para pengunjung kedai kopi.

“Nah, kan. Tuh, dijelasin apa arti dari lagu itu.”

Perempuan berkacamata itu terdiam sebentar mendengarkan perkataan dari penyanyi tersebut. Dengan rasa penasaran, ia melihat kembali dengan jelas siapa penyanyi tersebut. Perempuan itu merasa aneh. Ia seperti mengenal penyanyi itu. Diingatnya kembali serangkaian kejadian-kejadian yang pernah terjadi, lalu matanya membulat. Ia mengenalnya.

***

“Lumayan lah penampilan hari ini. Gimana menurutmu, Gar?” ucap Budi, pemain bass.

Edgar menatap lama ke gitar akustiknya yang sedang ia rapikan. “Lumayan. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal hati aku, Bud.”

“Kau kurang puas dengan penampilan kali ini, Gar?”

“Aku cukup puas. Namun ada hal lain yang mengganjal. Oh iya, aku ke kasir dulu, ya. Mau bayar minuman yang aku pesan tadi.”

Budi mengangguk; meng-iyakan. Edgar berjalan sambil mengeluarkan satu batang rokok lalu menyalakannya.

“Capuccino Latte satu, sama pisang gorengnya satu porsi, Mas,” ucap Edgar tatkala sampai di meja kasir. Pemuda itu menghisap rokoknya lalu menghembuskan tanpa memikirkan situasi sekitar.

“Maaf, Mas. Itu memang hak kamu. Tetapi saya tidak suka asap rokok,” ucap perempuan di samping Edgar yang tidak  ia ketahui keberadaannya. 

 “Maaf, Mba—”

“Halo! Kita ketemu lagi!” seru perempuan itu tersenyum. Edgar terdiam, merasa pernah bertemu dengannya. Ia masih terdiam, berusaha mengingat namanya.

“Salsa.”

***

“Jadi, sengaja pulang semalam ini hanya untuk menunggu aku selesai ngamen?” tanya Edgar di parkiran motor kedai kopi.

“Kamu ini ge-er sekali, ya. Aku dan temanku itu memang biasanya pulang sampai live music selesai. Tapi kali ini dia pulang duluan karena ada kepentingan lainnya. Ya aku lanjut saja sendirian menikmati ini.”

“Tidak baik perempuan pulang sendirian selarut ini. Apalagi saat ini sedang marak-maraknya pelaku  kriminal di angkutan umum,” ujar Edgar sok bijak menasihati.

“Tetapi aku seringnya menggunakan gojek,” sangkal Salsa membuat Edgar sedikit malu.

“Yasudah ayo naik,” ajak Edgar seraya memakai jaketnya di dekat motor.

“Kan aku sudah bilang, aku biasanya naik gojek. Ini aku mau pesan gojek-nya.”

Edgar dengan cepat mengambil handphone milik Salsa lalu mengeluarkannya dari aplikasi pesan ojek online tersebut dan mengembalikannya ke Salsa.

“Kali ini simpan uang transport-mu itu dan gunakan untuk memesan kopi dua hari lagi di kedai kopi yang sama untuk menonton aku.”

“Kau ini keras kepala, ya? Kalau aku tetap tidak mau, bagaimana?”

“Akan aku tawarkan sampai kau mau.”

“Kalau aku mau, bagaimana?”

“Langsung naik ke motorku dan akan aku antarkan kau pulang.”

Salsa tertawa kecil. Ia pasrah lalu menaiki motor Edgar dengan hati yang berdebar. “Kali ini saja, ya?”

“Lihat saja kedepannya, akan seberapa sering kau menaiki motor ini.”

***

Sebuah motor yang sudah berumur lebih tua dari pengemudinya berhenti tepat di depan pintu gerbang kost perempuan. Edgar mematikan mesin motornya sementara agar tidak menjadi kebisingan bagi masyarakat sekitar.

“Memangnya boleh perempuan pulang semalam ini di kost perempuan?”

Salsa turun dari motor Edgar yang terparkir di pinggir jalan. “Ibu kost disini itu sudah seperti ibu kami sendiri. Jika penghuni kostnya pulang malam, harus izin terlebih dahulu lalu harus melampirkan foto.”

Edgar mengangguk paham. Rasa kantuk mulai menyerang dirinya. “Yasudah, aku pulang, ya,” ucap Edgar pamit.

“Eh, sebentar,” cegah Salsa. “Bukankah lebih baik kalau kita bertukar nomor?”

“Untuk apa?” tanya Edgar.

“Kau sudah baik kepadaku hari ini. Aku harus membalas kebaikanmu.”

Edgar menghela napas panjang. “Aku sudah ngantuk. Perjalanan dari Karawang ke Cikarang cukup jauh. Tenang saja, cepat atau lambat, kau akan mendapatkan nomorku.”

“Aku pulang,” ucap Edgar lalu langsung menyalakan motornya dan pergi meninggalkan Salsa yang berdiri kebingungan di depan pintu gerbang kost.

“Sebenarnya aku sudah mendapatkan nomormu dari buku diary yang kau tinggalkan di kereta waktu itu. Sekarang, hanya tinggal mendapatkan hatimu. Apakah hatimu akan mudah ditinggalkan untukku seperti buku diary mu yang dengan gampangnya ditinggalkan untukku?”

***

Source Cover: Pinterest.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama