Soekarno-Hatta, 21 April
Udara di ibukota cukup mengkhawatirkan. Debu dan asap
kendaraan berkumpul menjadi satu. Pepohonan di pinggir jalan mulai tak lagi
asri. Kemacetan terjadi di setiap sudut jalan Ibukota. Jakarta indah jika
matahari sudah tenggelam.
Selepas mengurus administrasi dan persyaratan lainnya,
Edgar dan kawan-kawan barunya bergegas menuju bandara Soekarno-Hatta. Sama
seperti sebelumnya, Edgar masuk ke dalam tim Peduli Alam. Lagi-lagi ia tidak
tahu kenapa bisa tergerak untuk kegiatan seperti itu. Rasanya ia hanya ingin
melepas semua masalah dan pergi jauh.
Tim Peduli Alam yang Edgar ikuti mempunyai agenda
kegiatan untuk melakukan penanaman kembali pohon di hutan yang sudah mulai
gundul akibat penebangan liar oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Target
mereka kali ini adalah di salah satu kawasan perbukitan daerah Makassar.
Sempat ada masalah komunikasi antara kawan-kawan Edgar
dengan supir taxi. Yang seharusnya di terminal 2E, malah diantarkan ke terminal
1A. Terpaksa, beberapa menit harus terbuang percuma untuk mencari kembali
dimana terminal 2E.
“Tidak apa-apa, Pak. Tidak usah terburu-buru. Kami
masih ada cukup waktu sebelum keberangkatan,” ucap Zaidan—Ketua Tim Peduli
Alam—berbohong. Padahal tersisa 10 menit lagi sebelum keberangkatan.
Selepas turun dari taxi, mereka melangkah cepat untuk boarding. Tepat 1 menit sebelum
keberangkatan, mereka sudah mencapai lorong menuju pintu pesawat. Tak lupa
juga, mereka diteriaki oleh pramugara untuk jalan lebih cepat lagi karena pintu
pesawat akan segera ditutup. Siapa yang menyangka, bahwa Edgar dan kawan-kawan
adalah orang yang terakhir memasuki pesawat. Rasa panik, kaget, dan momen
mendebarkan berkumpul.
Belum sempat duduk karena masih sibuk mencari nomor
kursi sesuai dengan tiket, pramugari sudah mulai menyampaikan pesan-pesan
sebelum pesawat benar-benar terbang. Tepat pukul 10 pagi, pesawat mulai
berjalan pelan mencari posisi untuk take off. Tak lupa semua penumpang berdoa
terlebih dahulu agar lancar dalam perjalanan dan mendarat dengan selamat di
tujuan.
Take off berhasil dilakukan dengan lancar sampai
pesawat sudah mulai mengudara dengan gagah. Edgar mengintip ke arah jendela.
Terlihat perkotaan dengan gedung-gedung tinggi yang menghiasi daratan Jakarta.
Perihal hati, Edgar masih berusaha untuk segera
melupakan Salsa. Setelah kejadian satu bulan yang lalu, Edgar memutuskan ikut
dengan Tim Peduli Alam untuk mengobati rasa sakitnya. Kabur dengan kegiatan bermanfaat, pikirnya. Pemuda itu mengambil
sebuah buku catatan kecil dari dalam sakunya. Dan mulai menuliskan sesuatu.
Satu Bulan yang Lalu
“Terima kasih,”
ucap Edgar lalu berdiri untuk mengembalikan gitar dan berjalan pergi. Edgar
tidak menghiraukan anggota band itu yang terus memanggilnya. Yang ingin ia
lakukan hanya satu, kembali pulang dan melupakan semuanya.
Setelah memakai
jaket dan mengeluarkan motornya dari area parkir, ia dihampiri Salsa yang telah
mengejarnya dari tadi.
“Gar, kamu kok ada
disini? Nggak ngabarin aku?” tanya Salsa.
“Permisi, aku mau
pulang,” ucap Edgar.
“Gar, aku bisa
jelasin!”
“Nggak ada yang
perlu dijelasin.”
“Gar!” teriak
Salsa. Namun Edgar sudah menjalankan motornya meninggalkan Salsa yang panik
akan hal yang tak terduga itu.
Edgar memacukan
sepeda motornya diatas kecepatan 70km/jam menembus sepinya jalan menuju ke
Cikarang. Pemuda itu tidak peduli lagi segala hal tentang Salsa. Ia merasa
sangat hancur melihat hal yang tak pernah ia duga itu.
**
Edgar kembali menutup buku catatan itu dan kembali
memasukkannya ke dalam sakunya. Ia menyandarkan punggungnya dan memilih untuk
terlelap dengan earphone yang sedang memutar lagu Seventeen.
Rindu ini terus
menghantui
Hati yang sedang
terluka
***
Goa, 10 Mei
Setelah menanam bibit-bibit pohon dan tumbuhan baru
pada akhir April kemarin, kini waktunya Edgar dan kawan-kawan melihat
perkembangan bibit-bibit itu, apakah tumbuh dengan bagus atau tidak.
Tidak hanya di sekitaran Makassar, ternyata Tim Peduli
Alam ini juga mendapat izin ke daerah Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan. Untuk
biaya penginapan dan makan utama itu dibayarkan oleh pihak Tim tersebut. Jadi,
mereka hanya tinggal menjalankan program kerja yang telah dibuat.
Beberapa minggu tinggal di tempat baru, membuat Edgar
kenal dengan orang luar daerah yang ternyata unik-unik. Masih banyak tradisi
dan budaya yang sangat dijaga di sini. Rasanya ia menjadi semakin cinta dengan
keanekaragaman budaya di Indonesia.
“Gar, ini ada surat untukmu. Sepertinya dari orang di
pulau Jawa,” ucap Zaidan dengan memegang selembar surat yang dibungkus seperti
paket.
“Maaf, tolong taruh saja di dekat tasku, ya? Aku
sedang mengamati pohon ini untuk laporan,” pinta Edgar tidak begitu perduli
dengan surat untuk dirinya itu. Lalu Edgar kembali melanjutkan aktifitasnya.
Di pertengahan hari, ia gantian dengan temannya. Untuk
beristirahat, Edgar memilih untuk duduk dibawah pohon rindang. Entah kenapa ia
memikirkan sesuatu yang tak seharusnya ia pikirkan. Ia mengambil buku catatan
di saku celananya yang sudah dilengkapi dengan pensil kecil. Pemuda itu membuka
halaman yang sempat ia buka di pesawat saat perjalanan menuju Makassar.
Dua Bulan yang Lalu
Tepat jam 9 malam,
Edgar sampai dirumah. Ia segera merapikan badan dan kamarnya lalu langsung
berniat untuk segera terlelap.
Baru saja ingin
masuk ke dunia mimpi, handphone-nya Edgar berdering terus-menerus. Dengan
malas, Edgar mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa yang meneleponnya.
“Gar, besok bisa
kita bertemu?” tanya suara perempuan dari telepon itu.
Edgar mengerjapkan
matanya. Ia melihat nama ‘Salsa’ dengan jelas di layar handphone-nya. “Tidak
bisa,” ucap Edgar lalu langsung mematikan telepon dari Salsa.
Tak berselang 5
detik, handphone milik Edgar kembali bordering. Dengan cepat, Edgar me-reject
panggilan itu. dan dengan cepat juga, handphone Edgar berbunyi kembali.
Dengan malas,
Edgar mengangkat telepon itu. “Apalagi?”
“Aku bisa jelasin,
Gar. Please, besok kita ketemu, ya?”
Edgar menghela
napas. “Tidak perlu berdusta. Aku tahu siapa laki-laki itu.”
Salsa terdiam
sejenak kecurian kata. “Pokoknya, aku mau ketemu besok, Gar!”
“Bukankah tadi
sudah kubilang tidak bisa? Oh iya, dan jangan hubungi aku setidaknya sampai
tiga bulan kedepan.”
“Hah, kenapa? Lalu
hubungan kita?”
“Aku akan
menghubungimu tiga bulan lagi. Jika aku tidak menghubungimu, anggap saja
hubungan ini sudah berakhir, oke?” ucap Edgar lalu langsung menutup panggilan
itu dan mematikan handphone-nya.
**
Edgar kembali menutup buku catatan kecilnya lalu
memasukannya kembali ke dalam saku celananya. Ia kembali bangkit lalu
mengerjakan laporan.
Semestaku hancur,
hatiku terpecah
Kau biarkan
berserakan lebur
tinggalkan aku
yang lelah
***
Pulau Samalona, 24
Mei
Salah satu hal yang Edgar senangi dalam kegiatan ini
adalah diberi kebebasan untuk berwisata jika sudah selesai dengan segala
kegiatan. Apalagi Edgar adalah orang kota yang sangat jarang sekali bermain ke
tempat wisata alam di Jakarta-Bekasi.
Di kesempatan kali ini, tim Peduli Alam berkunjung ke
Pulau Samalona yang terletak tidak jauh dari Kota Makassar. Hanya sekitar 7 km.
Sebelum sampai menuju Pulau itu, Edgar dan kawan-kawan melewati Benteng
Rotterdam yang akan dikunjungi nanti setelah selesai memuaskan mata di Pulau
Samalona.
Meskipun biaya yang dikeluarkan untuk menyeberang
perairan cukup mahal, tetapi itu sebanding dengan indahnya pemandangan yang
patut dipertunjukkan kepada dunia. Sepetak pulau kecil dengan air biru muda di
sekelilingnya membuat Edgar sangat takjub akan indahnya ciptaan tuhan. Mata
yang biasanya disuguhkan pemandangan gedung dan kota yang kumuh, kini
diperlihatkan keindahan alam yang tak pernah ia lihat secara langsung.
Semua masalah yang berada di pikiran dan pundaknya,
kini menghilang sementara. Yang ia pikirkan hanya bersenang-senang sebelum
akhirnya kembali ke Jakarta sekitar 7 hari lagi, jika tidak ada kendala. Kini
dirinya bertekad untuk terus mengikuti tim Peduli Alam ini untuk menyembuhkan
alam, dan menikmati indahnya alam.
Selepas bermain air dengan kawan Peduli Alam, Edgar
berjalan pelan dengan kaki yang terlelap air setinggi mata kaki menuju perahu
yang disewa menuju tempat ini. Dan entah kenapa lagi, pemuda itu memikirkan hal
yang seharusnya tidak dipikrkan. Ia mengambil sebuah buku catatan dan pensil
kecil dari dalam tasnya dan mencari posisi duduk di ujung perahu dengan
pemandangan laut yang membiru. Ia membuka buku catatan itu dan menuliskan
sesuatu.
Terbesit nanamu
dalam hati
Tak pernah
kubiarkan terbuka
Kau mempercayakan
hatimu
Untukku, agar aku
jaga
***
Jakarta, 2 Juni
Semua kesenangannya kini berakhir. Kini ia harus
kembali lagi pada kenyataan hidup yang penuh dengan masalah. Masalah social,
masalah ekonomi, dan masalah percintaan.
Pesawat dari Makassar telah mendarat dengan sempurna
di Bandara Soekarno-Hatta beberapa jam yang lalu. Dengan cepat dan tanpa
menunda waktu begitu lama, mereka langsung menuju markas pusat Peduli Alam
untuk menyerahkan laporan dan rapat evaluasi.
Rapat berjalan dengan lancar. Tidak banyak evaluasi
yang di berikan karena mereka adalah tim yang kompak, meskipun ada konflik
kecil yang bisa diatasi dengan rasa kekeluargaan.
Sebelum kembali ke Cikarang menggunakan Commuter Line,
Edgar bersantai sejenak di halaman markas Peduli Alam. Ia mengambil sebatang
rokok lalu membakarnya. Tak lupa, ia membuka handphone-nya untuk mengabari
teman-temannya akan hal yang selama ini ia dapat di Makassar.
“Halo, Kawan semua! Aku sudah di kembali ke Jakarta.
Oh, iya. Kapan kita manggung lagi? Nanti akan kita bawakan lagu baru, yang aku
tulis selama di Makassar. Bagaimana?” Tulis Edgar di grup chat whatsapp dengan
teman band-nya.
Tak lupa juga, ia mengabari seseorang yang mungkin
sedang menunggu kepastian.
“Hai, sudah lama, ya? Sesuai janji, aku akan menghubungimu
setelah tiga bulan semenjak itu. Seperti biasa, aku akan ngamen di cafe
langganan. Dan kita akan berbicara setelah itu.” Edgar meng-klik “kirim” pesan
itu dengan perasaan yang begitu yakin.
“Aku begitu yakin,
aku akan mengembalikan semuanya kepadamu.”
***