Perasaan

 



Sebuah motor tua dengan hiasan lampu LED dibawahnya berhenti tepat di depan gerbang rumah yang tak asing ia kunjungi. Seorang perempuan keluar dari rumah itu dengan menggunakan blazer cream dengan kaos putih di dalamnya dan celana cream panjang. Tak lupa rambut pendek sebahu dan kacamata yang menggantung indah.

“Maaf, aku lama, ya?” tanya Perempuan itu sambil membuka gerbang lalu menutupnya kembali.

“Ah, tidak juga,” jawab pria yang tengah duduk di motornya itu.

Perempuan itu memandang pria didepannya, lebih tepat benda yang ia taruh di punggungnya. Sebuah gitar akustik yang dibungkus oleh tas gitar.

“Jadi kau benar-benar membawanya?”

“Itu kan keinginanmu, aku hanya mengabulkannya, Sa.”

“Yasudah aku yang membawa gitarnya sini. Kamu fokus menyetir saja.”

“Bisa ngga?” tanya Pria itu sambil melepaskan gitar yang menempel di punggungnya itu.

“Ya bisa dong, hanya satu yang ngga aku bisa.”

“Apa itu?” tanya Edgar.

“Haha, tidak.” Salsa menggelengkan kepalanya seraya tersenyum lalu naik ke motornya Edar. “Hanya satu yang belum aku bisa. Yaitu memilikimu sepenuhnya.”

***

Sepasang pemuda yang belum terikat itu menghabiskan akhir pekannya di sebuah tempat wisata air curug di daerah Karawang. Di tengah perjalanan, mereka berhenti di warung pinggir jalan untuk membeli minuman. Masih tersisa 2 kilometer lagi untuk sampai ke tempat yang mereka tuju.

“Kamu tidak menyalakan rokok?” tanya Salsa.

Edgar menggeleng. “Aku tidak merokok jika bersamamu.”

“Berarti, jika tidak bersamaku, kamu merokok?”

“Iya,” jawab Edgar singkat.

“Dasar… tetap saja itu berbahaya. Ya, tetapi itu hakmu juga sih. Aku tidak ada hak untuk melarangmu. Tetapi aku ingin kamu untuk tidak merokok.”

“Ada sih satu cara untuk aku tidak merokok lagi.”

“Apa itu?” tanya Salsa penasaran.

“Aku tidak akan merokok jika bersamamu. Itu berarti aku harus tetap bersamamu selamanya agar aku tidak merokok selamanya.”

Salsa diam tersenyum kecil. Pipinya memerah menahan senyum. “Kau ini bercandanya sukses membuatku salah tingkah!”

“Hahaha, yasudah, kita lanjutkan perjalanan, yuk.”

Salsa mengangguk. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Di perjalanan, mereka sangat menikmati suasananya. Berpergian dengan motor di daerah perbukitan memang menyejukkan hati dan juga pikiran.

Setelah berkendara sejauh 2 kilometer, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Langsung saja mereka membayar tiket masuk dan mencari tempat untuk merasakan sejuknya alam. Tempat itu tidak sepi, juga tidak ramai. Kemungkinan masih banyak orang yang belum mengetahui tempat seindah itu.

“Jadi, kenapa memintaku untuk membawa gitar?” tanya Edgar.

“Ada sesuatu yang ingin aku coba,” jawab Salsa. “Aku ada tugas praktek bernyanyi, jadi aku ingin merekam instrumen gitarmu dan suara-suara alam. Pasti indah.”

“Jadi karena tugasmu, yaa.”

“Yaa, itu salah satunya.”

“Ada alasan lain?” tanya Edgar penasaran.

Salsa mengangguk cepat, “Aku ingin menikmati suasana ini bersamamu.”

“Yasudah, mau lagu apa?”

Salsa diam sebentar, berpikir mencari lagu yang ia sukai. “Kau tahu lagu Belum Siap Kehilangan?”

“Yang dinyanyikan Stevan Pasaribu, bukan?” Tanya Edgar memastikan seraya mengeluarkan gitar dari sarungnya.

“Betul!” Seru Salsa bersemangat. “Seratus untuk kamu!”

“Seratus apa?”

“Seratus nilai untuk kamu, Gar.”

Edgar meng-oh-kan panjang. “Aku kira seratus persen hatimu untukku, haha.”

Lagi-lagi Salsa dibuat salah tingkah oleh ucapan Edgar. “Yasudahh, buruan mainkan.”

Edgar mulai mengutak-atik gitarnya. “Lagu aslinya itu memakai piano. Jadi sedikit sulit untuk diiringi memakai gitar. Tetapi akan aku coba.” 

Setelah menemukan kunci yang pas, Edgar mulai memainkan gitarnya. Intro yang ia mainkan terdengar sempurna. Alunan suara gitar disertai suara gemercik air membuat suasana semakin terasa sejuk.

“Sewindu sudah… Ku tak mendengar suaramu, ku tak lagi lihat senyumanmu yang selalu menghiasi hariku…”

Edgar tiba-tiba menghentikan permainan gitarnya. Hal itu membuat Salsa bingung. “Eh, kenapa? Suaraku jelek, ya? Suaraku ngga masuk, ya?”

“Serius itu suaramu, Sa?”

“I-iya…, Gar.”

“Sumpah bagus banget, kok kamu ngga bilang-bilang sih bisa nyanyi?”

“Biasa aja, Gar.”

“Kalau gitu mah kamu ikut aku aja keliling kafe buat ngamen, haha.”

“Iyaa, nanti aku pikir-pikir dulu, deh. Lanjut lagi ayo.”

Edgar mengangguk lalu melanjutkan permainan gitarnya. Ia merasa masih tidak percaya Salsa memiliki suara yang sebagus itu.

“Ternyata belum siap aku kehilangan dirimu. Belum sanggup untuk jauh darimu. Yang masih slalu ada dalam hatiku… “

“Tuhan… tolong mampukan aku tuk lupakan dirinya. Semua cerita tentangnya yang membuatku selalu teringat akan cinta yang dulu hidupkanku…”

Satu lagu selesai dinyanyikan. Disela jeda istirahat, Edgar penasaran akan suatu hal yang tertulis di buku yang Salsa tinggalkan di kereta kala itu.

“Sal, aku mau nanya, deh.”

“Boleh, nanya apa, Gar?”

“Dari lagu tadi, kamu belum bisa move on, ya?”

Salsa terkejut mendengarnya, lalu tertawa. “Hahaha, ya memang sebelumnya disaat hubunganku berakhir, aku sering mendengarkan lagu itu, tetapi saat ini lagu itu menjadi lagu kesukaan ku.”

“Hmm.”

“Tetapi bagiku, paragraf pertama di reffnya sesuai dengan kondisi saat ini,” jelas Salsa.

“Maksudnya?” tanya Edgar tidak paham.

“Sudah ada seseorang yang masuk ke hatiku. Dan aku tidak siap jika kehilangan seseorang itu.”

Edgar lemas mendengar itu. Ternyata perempuan disampingnya itu sudah mempunyai seseorang di dalam hatinya. Lalu alasan kenapa Salsa setuju dengan ajakan Edgar untuk jalan-jalan tidak lain adalah untuk kepentingan tugas kuliahnya.

“Oh, seperti itu. Yasudah, ingin lanjut lagu apa?” tanya Edgar mengalihkan topik pembiacaraan dengan menahan sedikit rasa sakit.

“Kamu tidak ingin tahu orang itu, Gar?”

Semakin sakit yang dirasakan Edgar. “Tidak, itu sudah menjadi privasimu.”

“Baiklah. Sebentar, aku akan mencari lagu selanjutnya.”

Edgar semakin lelap dalam lamunannya. Ia merasa ingin sekali pulang meninggalkan situasi ini. Ia sadar, dirinya harus mundur untuk mendapatkan Salsa. Tetapi sebelum itu, ia harus menyatakan perasaannya terlebih dahulu, sebelum akhirnya menjauh dari Salsa.

“Sa?”

“Gar?”

“Eh, kamu dulu saja yang bicara,” ucap Salsa mempersilahkan Edgar untuk berbicara.

“Tidak, perempuan terlebih dahulu.”

“Ehmm.., menurutmu lebih baik aku menyatakan perasaanku atau tidak, ya?”

Deg!

Jantung Edgar seperti ingin lepas. Tiba-tiba hatinya merasakan rasa sakit yang berlebih setelah mendengarkan kalimat itu. Pemuda itu lama tak menjawab.

“Eh, sudahlah, lupakan saja pertanyaanku tadi. Bagaimana kalau kita ke daerah sana? Kakiku ingin sekali bermain air yang bening itu,” pinta Salsa mengalihkan pembicaraan.

Edgar hanya mengangguk menuruti kemauan Salsa. Ia membungkus kembali gitarnya lalu mereka beranjak pergi ke tempat yang Salsa tunjuk tadi. Langkahnya semakin melemas. Ia hanya ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk meredakan rasa sakit.

Wisata air curug ini memang indah. Suasana alam yang sejuk, disertai sumber air yang bening membuat pengunjungnya betah seharian di tempat ini. Sesampainya di tempat yang Salsa inginkan, langsung saja ia merendamkan telapak kakinya di air bening yang mengalir.

“Apa yang ingin kamu bicarakan tadi, Gar?” tanya Salsa.

“Ah, sepertinya tidak jadi, aku ragu membicarakannya.”

“Yakin? Tidak apa-apa bicarakan saja. Aku akan menendengarkannya. Selagi masih ada aku disini, denganmu,” ucap Salsa seolah-olah ia tahu apa yang ingin Edgar bicarakan.

Edgar menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. “Hidup memang aneh. Selalu saja ada kejadian-kejadian menakjubkan, tak masuk akal, dan tak terduga. Contohnya saja ketika aku bertemu denganmu. Pertemuan kita adalah pertemuan yang tak kita rencanakan. Pertama, aku bertemu denganmu di kereta api, lalu aku bertemu denganmu kembali di kedai kopi.”

“Aku merasa biasa saja. Membiarkan semuanya mengalir seperti aliran air ini,” lanjut Edgar di sela suara gemercik air. “Semakin terus mengalir, semakin aku merasakan suatu rasa yang benar-benar aneh. Rasa yang sudah tidak aku rasakan sejak lama.”

Lagi-lagi pemuda itu menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan pembicaraannya. “Singkatnya, aku menyukaimu, Salsa.”

Setelah mengucapkan itu, mereka terdiam. Tak berani mengeluarkan satu patah kata pun. Ada rasa malu di dalam diri Edgar, dan ada rasa terkejut dalam diri Salsa.

“Gar…,” panggil Salsa berani membuka kembali obrolan.

“Iya, aku tahu, kau tengah menyukai orang lain. Maka dari itu, aku menyatakan ini sekarang, sebelum saatnya aku menjau—”

“Orang itu adalah kamu, Gar!” ucap Salsa dengan sedikit membentak. “Semenjak pertemuan kita di kedai kopi itu, aku langsung terus memikirkanmu. Memangnya kenapa aku mau diajak kamu untuk pergi ke tempat ini?”

“Untuk tugas kuliah, bukan?”

“Kenapa aku perlu repot-repot untuk mengerjakan tugas itu sampai kesini? Yang aku inginkan adalah berwisata kesini denganmu!”

Edgar terkejut mendengar itu. Ia terdiam, terdiam, dan terdiam tak bisa berkata apa-apa. Bahkan menatap Salsa pun ia tak mampu.

“Singkatnya…, Aku menyukaimu juga, Edgar.”

***

 

1 Komentar

  1. INFO!!!

    Untuk mendalami cerita, disarankan membaca dari awal. Yaitu part yang berjudul "Pertemuan"

    Lalu dilanjut part yang berjudul "Pendekatan"

    Sekian,
    Refad

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama